Oleh: Adi Yusuf Tamburaka, S.Sos., MH – Analis Kebijakan Ahli Madya Provinsi Sulawesi Tenggara
Kendari, 8 Mei 2025
KENDARI, LINKSULTRA.COM – Koperasi, sebagai bentuk ekonomi kerakyatan, telah lama menjadi bagian integral dari perjalanan pembangunan nasional Indonesia. Amanat konstitusi melalui Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa sistem perekonomian nasional harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam konteks ini, koperasi memainkan peran strategis sebagai sokoguru ekonomi rakyat.
Pemerintah Orde Baru pada 1992 merespons amanat ini dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang memperkenalkan konsep Koperasi Unit Desa (KUD). Tujuannya adalah memperkuat struktur ekonomi desa melalui koperasi yang berbasis pada potensi dan kebutuhan masyarakat lokal.
Namun, koperasi tak lepas dari dinamika. Ketika krisis ekonomi 1998 meluluhlantakkan perekonomian nasional, koperasi justru menunjukkan daya tahannya. Koperasi dan UMKM terbukti menjadi sektor yang relatif lebih stabil, mampu menyerap tenaga kerja, fleksibel terhadap perubahan, serta adaptif dalam menghadapi teknologi dan tantangan pasar.
Pengalaman ini mendorong lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang menekankan pentingnya keberpihakan negara terhadap ekonomi rakyat.
Sayangnya, perjalanan koperasi tidak selalu mulus. Upaya untuk menyempurnakan payung hukum melalui UU Nomor 17 Tahun 2012 justru kandas karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi pada 2014. Akibatnya, UU Nomor 25 Tahun 1992 kembali diberlakukan hingga kini, meskipun dianggap kurang relevan dengan perkembangan zaman.
Melihat kebutuhan dan tantangan global yang kian kompleks, Presiden RI ke-8, Bapak Prabowo Subianto, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, mendorong percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Ini adalah langkah konkret dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional berbasis desa, yang fokus pada sektor pertanian, perikanan, dan UMKM.
Inpres ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi menuntut komitmen nyata dari 16 kementerian/lembaga, seluruh kepala daerah, hingga pemerintahan desa. Bahkan dalam Diktum Ketujuh angka 17 dan 18, ditegaskan bahwa pembiayaan awal koperasi dibebankan kepada APBD dan APBDes, termasuk untuk akta pendirian koperasi.
Modal dasar koperasi Merah Putih akan bersumber dari dana Ketahanan Pangan di APBDes, sementara pembangunan fasilitasnya akan didukung dana APBN melalui bank-bank BUMN seperti BRI, BNI, BTN, dan Mandiri. Ini menunjukkan sinergi vertikal-horisontal yang kuat dalam pengembangan koperasi.
Namun, tantangan besar menghadang: kualitas sumber daya manusia. Pengurus koperasi ke depan harus melek teknologi dan adaptif terhadap perubahan digital. Koperasi Merah Putih juga diharapkan mampu menjangkau sektor-sektor vital seperti pertanian, perikanan darat dan laut, serta UMKM.
Tugas berat juga menanti kepala desa dan lurah. Selain mengelola Dana Desa dan Anggaran Koperasi, mereka harus memastikan akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, peran serta LPM, BPD, dan warga desa sangat dibutuhkan untuk membangun ekosistem koperasi yang sehat dan berkelanjutan.
Akhir kata, semoga dengan semangat gotong royong dan visi Indonesia Emas 2045, koperasi Merah Putih mampu menjadi ujung tombak dalam menciptakan kemandirian dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia.