JAKARTA, LINKSULTRA.COM – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Nusantara (PANTARA) dan Generasi Mahasiswa Intelektual Indonesia (GMII) menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Kejaksaan Agung RI, Jakarta. Aksi sempat berlangsung ricuh ketika massa mencoba merangsek ke gerbang utama dan dihadang aparat keamanan.
Dalam orasinya, mahasiswa menuntut Kejaksaan Agung segera mengusut tuntas kasus kebakaran pabrik ban bekas milik PT Sulawesi Giat Hurali (SGHI) dan CV WXY Dragon Sukses di Desa Lebo Jaya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Menurut mereka, kebakaran yang menelan korban jiwa itu membuka tabir praktik minyak ilegal, pelanggaran keselamatan kerja, hingga dugaan mafia perizinan.
Hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) Polresta Kendari menemukan indikasi aktivitas produksi minyak skala besar tanpa izin resmi. Di lokasi, aparat mendapati:
Bak penampungan kapasitas 41 kiloliter.
Menara plastik kapasitas 5 kiloliter.
Puluhan drum 100 liter berisi minyak hasil olahan, dengan 40 drum di antaranya siap didistribusikan ke Morowali.
Selain itu, ditemukan barang bukti berupa kabel dan selang terbakar, limbah cair, sisa ban bekas, dokumen kontrak, hingga spanduk perusahaan. Kondisi tersebut memperkuat dugaan adanya upaya melegitimasi operasional ilegal dengan dokumen yang mencurigakan.
Pabrik disebut tidak memiliki jalur evakuasi, pekerja tidak dibekali alat pelindung diri (APD) standar, serta tidak terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Situasi ini dinilai melanggar ketentuan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Lahan operasional pabrik juga diduga milik seorang anggota DPRD Konawe Selatan. Keterlibatan unsur politik dan bisnis semakin menguatkan dugaan adanya konflik kepentingan dalam kasus ini.
Koordinator Lapangan aksi, Edrian Saputra, menegaskan kebakaran tersebut bukan sekadar musibah biasa.
“Kebakaran pabrik ban di Konawe Selatan adalah skandal besar yang melibatkan minyak ilegal dan mafia perizinan. Jika Kejagung tidak segera bertindak, berarti hukum benar-benar tumpul ke atas tapi tajam ke bawah,” tegasnya.
Sementara Penanggung Jawab Aksi, Adit Pratama, menyebut kasus ini melanggar tiga aturan utama:
1. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) karena tidak adanya izin lingkungan dan pengelolaan limbah B3.
2. UU No. 22/2001 tentang Migas karena produksi minyak pirolisis dilakukan secara ilegal.
3. UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja karena pekerja dibiarkan tanpa perlindungan hukum dan jaminan BPJS.
Adit juga menilai kasus ini sebagai bentuk praktik state capture, di mana kepentingan politik dan bisnis melemahkan hukum.
Mahasiswa menyampaikan lima tuntutan utama:
1. Kejaksaan Agung RI mengambil alih kasus PT SGHI dari aparat daerah.
2. Menetapkan tersangka baik dari pihak perusahaan maupun oknum politik terkait.
3. Mengusut dugaan korupsi dan intervensi politik dalam proses perizinan.
4. Menegakkan hukum lingkungan sesuai UU No. 32/2009 dan UU No. 22/2001.
5. Menjamin keadilan bagi korban serta pemulihan lingkungan dari limbah B3.
Meski diwarnai ketegangan, aksi tetap berlangsung hingga sore dengan pengawalan ketat kepolisian. Massa mengancam akan kembali turun dengan jumlah lebih besar apabila Kejagung tidak segera mengambil langkah hukum tegas.
Laporan: Rul R.


































