Menguatkan Suara Dua Gubernur Daerah Penghasil Nikel: Saatnya Keadilan Pengelolaan SDA Dikembalikan ke Daerah

Oleh: Adi Yusuf Tamburaka, S.Sos., MH

Analis Kebijakan Ahli Madya Provinsi Sulawesi Tenggara

Kendari, 10 Mei 2025

 

KENDARI, LINKSULTRA.COM – Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 menegaskan pentingnya penyelenggaraan otonomi daerah yang berkeadilan, termasuk dalam pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional.

Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi dalam Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, semangat itu semakin memudar dalam praktik kebijakan nasional, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA), khususnya mineral nikel.

Sejak reformasi 1998, semangat desentralisasi melahirkan sejumlah regulasi seperti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, hingga UU No. 23 Tahun 2014 yang kini berlaku.

Di sektor keuangan dan sumber daya alam, lahir pula UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Namun, revisi dan pergeseran kewenangan dalam regulasi-regulasi tersebut justru telah mempersempit peran daerah dalam mengelola kekayaan alamnya sendiri.

Baru-baru ini, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI, dua kepala daerah dari wilayah penghasil nikel terbesar di Indonesia, yaitu Gubernur Sulawesi Tenggara, Andi Sumangerukka, dan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, menyuarakan keresahan masyarakatnya.

Mereka menilai bahwa pembagian hasil SDA, khususnya nikel, sangat tidak berimbang dengan beban lingkungan dan sosial yang harus ditanggung daerah.

Bayangkan, hanya sekitar 10–20 persen dari nilai hasil tambang dikembalikan ke daerah, sementara kerusakan jalan, degradasi lingkungan, hingga dampak sosial ekonomi sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat lokal.

Lebih miris lagi, dua provinsi yang disebut sebagai “lumbung nikel nasional” ini masih termasuk dalam kategori daerah miskin, dengan tingkat pengangguran tinggi dan infrastruktur yang jauh dari kata layak.

Ketimpangan ini menunjukkan kegagalan sistem dalam mewujudkan keadilan fiskal dan ekologis sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Penarikan kewenangan pengawasan atas hutan dan pertambangan dari pemerintah daerah ke pusat juga semakin menjauhkan semangat demokrasi lokal.

Dinas Kehutanan kabupaten dibubarkan, fungsi inspektur tambang di daerah dihapus, dan kepala daerah kehilangan kendali terhadap izin-izin tambang serta tanggung jawab lingkungan di wilayahnya.

Kondisi ini bertolak belakang dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang harus berdasarkan demokrasi, keanekaragaman lokal, dan perlindungan lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam Tap MPR No. XV/MPR/1998. Jika Papua dan Aceh mendapatkan keistimewaan dalam bentuk otonomi khusus, mengapa tidak dengan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang turut menjadi tulang punggung ekonomi nasional dari sektor tambang?

Oleh karena itu, kami mendukung penuh suara dua gubernur tersebut sebagai wujud aspirasi rakyat.

Pemerintah bersama DPR RI perlu segera melakukan revisi terhadap UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Minerba, UU Kehutanan, serta UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Alternatif lainnya adalah membuka jalur konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi untuk menguji kembali keberlakuan undang-undang yang merugikan daerah.

Lebih jauh, pemerintah pusat bisa mempertimbangkan pemberian status otonomi khusus bagi daerah penghasil SDA sebagai bentuk afirmasi atas kontribusi dan beban yang mereka tanggung.

Langkah ini penting agar tidak terjadi ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan yang diwariskan pada generasi mendatang.

Reformasi 1998 telah mengajarkan kita bahwa suara rakyat adalah fondasi dari negara demokrasi.

Maka, menjaga semangat desentralisasi dan keadilan dalam pengelolaan kekayaan alam adalah harga mati.

Bila daerah penghasil tak mendapatkan porsi yang adil, maka keutuhan NKRI dan cita-cita kesejahteraan bersama akan terus tergerus oleh ketimpangan struktural yang sistemik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *