Kearifan Budaya Lokal sebagai Tameng Melawan Korupsi

Opini94 Dilihat

Oleh: Adi Yusuf Tamburaka – Analis Kebijakan Ahli Madya Provinsi Sulawesi Tenggara

Kendari, 29 April 2025

 

KENDARI, LINKSULTRA.COM – Korupsi di Indonesia telah menjelma menjadi persoalan akut. Bahkan, banyak yang menyebutnya sudah mencapai “stadium IV”.

Tindak pidana ini tak lagi terbatas di pusat pemerintahan, tetapi juga merambah hingga ke desa-desa, lembaga pendidikan, pengawasan, perbankan, kehakiman, kepolisian, militer, hingga kalangan profesional dan pengusaha. Kerugiannya sangat besar: terhadap keuangan negara, terhadap kepercayaan publik, dan terhadap pembangunan nasional itu sendiri.

Padahal, Indonesia telah memiliki berbagai instrumen hukum dan kebijakan untuk memberantas korupsi. Sebut saja Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, hingga UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun kenyataannya, upaya pemberantasan korupsi selama 25 tahun terakhir belum memberikan efek jera yang berarti. Ironisnya, praktik korupsi justru kian berkembang pesat, seiring membengkaknya jumlah uang yang dikorup.

Maka, sudah saatnya kita melihat ke dalam, menggali potensi yang selama ini terlupakan: kearifan budaya lokal. Konstitusi kita, dalam Pasal 32 UUD 1945, dengan jelas menyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Tidak ada satu pun budaya di Indonesia yang mengajarkan atau membenarkan korupsi. Justru sebaliknya, budaya lokal kita penuh dengan nilai-nilai etika dan moralitas yang sangat kuat.

Ambil contoh budaya masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara. Dua nilai utama yang masih hidup hingga kini adalah kohanu (budaya malu) dan teporombua (semangat solidaritas dan tolong-menolong). Dalam nilai kohanu, rasa malu tidak hanya menyangkut citra diri, tetapi juga menyentuh martabat keluarga dan komunitas.

Korupsi dalam perspektif ini adalah aib kolektif. Sedangkan teporombua menekankan pentingnya saling membantu dan mencegah penderitaan orang lain—sikap yang bertolak belakang dengan kerakusan para koruptor.

Nilai-nilai seperti ini masih hidup dalam petuah adat, nasihat orang tua, dan lembaga-lembaga adat yang menjadi rujukan etika masyarakat.

Kearifan lokal ini sejatinya dapat menjadi pondasi dalam strategi pencegahan korupsi—baik di lingkungan keluarga, pendidikan, maupun pemerintahan.

Sudah waktunya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya mengandalkan lembaga formal seperti kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Perlu pendekatan budaya yang melibatkan pemangku adat dan lembaga-lembaga adat di seluruh penjuru negeri.

Dengan memadukan penegakan hukum dan penguatan nilai budaya lokal, kita dapat menciptakan ekosistem antikorupsi yang lebih kokoh dan menyentuh akar.

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, kita butuh revolusi moral yang dimulai dari akar budaya kita sendiri. Kearifan lokal bukanlah warisan masa lalu yang usang, melainkan sumber kekuatan bangsa yang selama ini terabaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *