Penulis: Pusaran Pikiran “Rusli”
Makassar, 5 November 2023
MAKASSAR, LINKSULTRA.COM – Dalam beberapa dekade Pola kenegaraan berkembang bersamaan dengan revolusi ekonomi,social, dan budaya yang berlangsung di Eropa Barat tiga ratus tahun yang lalu dan mendapat ungkapan yang paling mengesankan dalam perwujudan masyarakat industrial dan pasca-industrial saat ini. Oleh karena sebuah sirkulasi politik yang tengah dilanda badai meruncingnya wacana identitas primordialistik.
Landasan ini jelas berbeda dengan identitas keindonesiaan kita sewaktu sama-sama melawan penjajahan, kali ini politik identitas tengah menyisir sentimen suku agama, dan ras tertentu. Fenomena yang lagi populer ini terinfiltrasi pada arus pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden serta Legislatif serta Kepala Daerah 2024,.
Euphorianya pun seakan menjadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi di negeri ini yang terjadi banyaknya lompatan politik yang seakan menjadi tempat untuk mencari kerja yang sangat praktis.
Dalam hal partisipasi, memang model pemilihan seperti sekarang ini menjadi sarana yang paling efektif untuk menyalurkan aspirasi rakyat untuk memilih pemimpinnya. Ironi demokrasi seperti ini menjadikan pertanyaan besar keberlangsungan masa depan bangsa ini.
Permasalahan politik muncul ketika oligarki sekaligus ketua umum partai politik berpihak pada kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres, maka dukungan ini memengaruhi kepentingan oligark dalam memimpin partai politik dan orientasi politik. Termasuk pemberitaan pada saat kampanye pemilu. pemilu membuat setiap rakyat memiliki hak suara yang sama untuk menentukan pemimpin sebuah negara.
Pemilu menjadikan rakyat, pemilik sumber daya suara dibutuhkan kandidat untuk resmi menjadi penjabat publik. Pemberitaan berbalut kepentingan yang beredar inilah yang memengaruhi keputusan rakyat. Keberpihakan oligarki pada kandidat membuat pemberitaan bias. Dan Pers seolah hanya menjadi kendaraan, senjata, dan amplifikasi keperluan kandidat yang didukung oleh oligark semata.
Secara filosofis, Prof Teguh Prasetyo mengatakan bahwa filsafat dalam pemilu lebih pada kegiatan befikir dalam rangka menemukan rasionalitas atau penalaran terhadap pemilu yang didalamnya diisi oleh undang-undang sebagai bentuk dari jiwa bangsa (volksgeits) yang penuh kebijaksanaan (Prasetyo, 2018).
Demokrasi yang harusnya mampu untuk meningkatkan peradaban bangsa ini malah terjebak pada konflik yang diakibatkan pada surplus politik identitas yang memanas bahkan koruptif dan nepotism.
Tanpa perubahan struktural atas sistem ekonomi dan politik yang bekerja dengan mengapitalisasi pusaran politik behavioralism juga akan terus berhadapan dengan tembok atau kekuatan oligarkis. Dalam sistem demokrasi menjadikan partai politik sebagai elemen penting bagi demokrasi. Partai politik menjadi ”pabrik” yang mencetak para pemimpin di nasional maupun daerah.
Namun, di tengah dinamika politik yang terjadi saat ini, ada yang luput dari pembahasan dalam di tengah publik, yakni agenda politik yang diusung oleh partai politik maupun kandidat yang akan bertarung dalam Pemilu 2024.
Pembahasan substansi pada persoalan-persoalan pokok yang dirasakan oleh rakyat, nyaris sepi dan tenggelam dalam hiruk pikuk konsolidasi elite politik dengan menggunakan gerakan Behavioralism politik, atau pendekatan perilaku terhadap analisis dan penjelasan fenomena politik, khususnya dikaitkan dengan karya ilmuwan politik Amerika setelah Perang Dunia Kedua, namun asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke karya Graham Wallas (Human Nature in Politics) dan Arthur Bentley (The Process of Government) Wallas berusaha memperkenalkan Realisme Baru dalam studi politik berdasarkan temuan-temuan baru dalam Psikologi Kontemporer.
Karena itu, generasi milenial kerap mendapat perhatian khusus untuk berbagai kepentingannya, ditinjau dari berbagai aspek perilakunya, seperti dalam pendidikan, hubungan sosial, pandangan politik, etos kerja, hingga penguasaan teknologi. Seperti generasi lainnya, generasi ini memiliki cara tersendiri dalam mengaktualisasikan kebebasan dan keberpihakannya dalam kehidupan demokrasi di era ini.
Gerakan pusaran behavioralism politik harus menemukan jalan bagaimana dapat mentransformasikan dirinya menjadi gerakan yang populer dan berelasi dengan kaum muda di tengah banyaknya anak muda yang skeptis terhadap politik akibat dari buruknya praktik politik yang dijalankan oleh elite politik di kekuasaan.
Olehnya kemudian mewujudkan demokrasi yang subtantif dalam hal ini kesejahteraan dan keadilan belum mempu diwujudkan oleh elit politik karena terjebak pada polarisasi komunikasi dan pusaran politik behavioralism yang stagnan pada permasalahan identitas partai politik dalam hal reformasi system yang kini tertanam dan menjadi episentrum tajamnya identitas. (***/OPINI)