Refleksi Ulang Tahun: Diskresi Dana Desa untuk Kepentingan Umum, Apakah Melanggar?

Oleh: Adi Yusuf Tamburaka, S.Sos., MH

Analis Kebijakan Ahli Madya

Kendari, 24 April 2025

KENDARI, LINKSULTRA.COM – Di hari ulang tahun saya ini, izinkan saya berbagi refleksi sekaligus kegelisahan sebagai aparatur sipil negara yang telah lama berkecimpung dalam analisis kebijakan publik.

Salah satu pertanyaan yang terus menghantui ruang diskusi dan ruang publik adalah: apakah penggunaan diskresi dana desa untuk perbaikan infrastruktur umum—khususnya jalan rusak—merupakan pelanggaran hukum? Atau justru merupakan bentuk keberanian moral untuk menjawab kebutuhan rakyat?

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah bagian dari ruang gerak legal pejabat publik dalam mengambil keputusan saat aturan belum mengaturnya secara eksplisit, selama tidak bertentangan dengan hukum, memenuhi asas pemerintahan yang baik, dan dilakukan dengan iktikad baik.

Ketika jalan rusak sepanjang ribuan kilometer di wilayah kabupaten dan provinsi menjadi penghalang utama bagi mobilitas, distribusi ekonomi, pelayanan kesehatan, dan akses pendidikan masyarakat desa—maka pertanyaan yang lebih relevan bukanlah “apakah ini melanggar?”, tetapi “apakah kita sanggup terus menutup mata atas penderitaan rakyat?”

Data BPS Sultra 2023/2024 menunjukkan bahwa dari lebih dari 10 ribu kilometer jalan kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, hanya sekitar 44 persen yang dalam kondisi baik. Sementara, 4.316 kilometer dalam kondisi rusak berat.

Ini bukan sekadar angka, tapi jalan menuju sekolah yang tak bisa dilalui, akses ekonomi yang terputus, dan ambulan yang terlambat tiba.

Dengan alokasi Dana Desa sebesar Rp1,15 triliun untuk 1.908 desa di 15 kabupaten, membayangkan 50 persen dari dana ini digunakan secara efisien dan akuntabel untuk perbaikan jalan yang menjadi urat nadi ekonomi masyarakat bukanlah tindakan melanggar hukum, tetapi sebuah tindakan berani, sah, dan bermartabat jika sesuai koridor hukum dan kepentingan publik.

Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014) memberikan kewenangan otonom bagi desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.

Selama penggunaan dana tersebut melalui mekanisme musyawarah desa, mendapat persetujuan BPD, dan didukung dokumen perencanaan yang sahih—diskresi ini tidak hanya legal, tetapi juga moral.

Lebih lanjut, UU No. 23 Tahun 2014 dan UU No. 30 Tahun 2014 menggarisbawahi bahwa tindakan pejabat daerah dalam situasi mendesak yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah tindakan yang dijamin konstitusional—selama memenuhi asas akuntabilitas, keterbukaan, dan kemanfaatan publik.

Maka, dalam momen ulang tahun saya ini, saya ingin mengajak kita semua—khususnya para pemangku kebijakan di desa, kabupaten, dan provinsi—untuk tidak takut menggunakan kewenangannya secara bijak dan berpihak pada rakyat.

Hukum bukan untuk membatasi kepedulian, tapi untuk mengarahkan tindakan kita agar tetap dalam jalur kebenaran dan keadilan.

Mari kita sudahi keraguan. Kita butuh keberanian, bukan sekadar kepatuhan. Karena di ujung jalan yang rusak itu, ada harapan yang menunggu diperbaiki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *